"Melawan Takdir dengan Nyali" Punk Ini Keliling Indonesia Tanpa Uang

- Jimmy
“Tanpa peta. Tanpa tiket. Tanpa uang. Tapi penuh tekad dan nyali.”
Begitulah prinsip hidup Dian, seorang punk jalanan yang memilih jalan berbeda: menjelajah seluruh penjuru negeri tanpa kemewahan, tanpa jaminan, dan tanpa kepastian tempat tidur malam ini. Hanya dengan gitar kecil, alat tato, dan semangat solidaritas, ia membuktikan bahwa mimpi bisa dijalani meski dengan saku kosong.
Dari Batang ke Medan: Lahirnya Jiwa Jalanan
Dian lahir di Batang, Jawa Tengah, sebuah kota pesisir yang mungkin tak masuk peta wisata, tapi sangat lekat dalam peta jiwanya. Ia tumbuh dalam kerasnya kehidupan jalanan, hingga akhirnya menetap di Medan. Di kota itu, ia menemukan ruang untuk tumbuh, bukan hanya sebagai pengelana, tapi juga sebagai tattoo artist yang merangkai hidup dari jarum dan tinta.
Punk bukan sekadar penampilan baginya. Punk adalah cara bertahan. Cara berpikir. Cara berjalan.
Aceh: Titik Nol, Titik Awal
Perjalanan gilanya dimulai dari Banda Aceh, titik nol Indonesia. Di hadapan laut lepas, ia mengikat janji pada dirinya sendiri:
"Saya akan menjelajah negeri ini. Tanpa uang. Tanpa peta. Cukup dengan tangan, nyali, dan keyakinan bahwa jalan akan selalu terbuka bagi yang mau melangkah."
Gitar Serak dan Jarum Tinta: Bahan Bakar Hidup
Di tiap kota yang disinggahinya, ia bertahan dengan dua senjata: gitar kecil dan alat tato. Suaranya serak, tapi penuh nyawa. Ia mengamen di pinggir jalan, emper minimarket, terminal, bahkan pasar malam. Lagu-lagu punk dan balada jalanan menjadi soundtrack perjalanannya.
Tattoo adalah peluru berikutnya. Ia tidak butuh studio, hanya kulit kosong, kemauan, dan tangan terampil. Dari simbol pemberontakan hingga coretan spontan, semua ia ukir sebagai cara bertahan dan berbagi.
"Tato itu tiket saya buat lanjut jalan. Nggak banyak, yang penting cukup buat makan dan ngegas lagi."
Tidur di Emperan, Hangat di Solidaritas
Tempat bermalam sering kali tidak pasti. Kadang beralaskan kardus di emper toko, halte, atau musala pinggir jalan. Tapi sering juga, sesama punk yang ia temui membuka pintu rumah, kamar kontrakan, bahkan sekadar sudut dapur untuk berbagi tempat rebahan.
Solidaritas punk menjelma jadi pelindung tak kasat mata, yang terus menghangatkan langkah-langkahnya.
Menyusuri Sumatera: Asap, Truk, dan Saudara
Dari Aceh ke selatan, ia menumpang apa saja—truk, pick-up, hingga mobil pribadi. Ia sempat kehujanan di Bukit Barisan, meniti aspal lintas Sumatera hingga perbatasan Jambi.
Palembang jadi persinggahan yang lebih panjang. Komunitas punk di sana menyambutnya dengan tangan terbuka. Ia mengamen di pasar pagi, membuat tato di dapur rumah teman, dan main di konser kecil yang digelar di garasi motor.
Bangka Belitung: Pasir Putih dan Jalanan
Menyeberang ke Bangka Belitung, ia menemukan komunitas punk pesisir yang hidup dari menambang dan mengamen. Ia tinggal dua beberapa saat di sana dan berjumpa teman-teman baru.
Kalimantan: Bebas dan Liar
Dari Belitung, ia menuju Kalimantan. Jalanan panjang, sepi, dan sunyi tak menyurutkan langkahnya. Justru di sana ia merasa benar-benar bebas—berteman hutan, rawa, dan suara alam.
Ia menelusuri Kalimantan dari barat ke timur: dari Pontianak, Sintang, Samarinda, Balikpapan, hingga Sebatik. Di satu kota ia membuat tato, di kota lain ia mengamen dan berbagi cerita dengan punk lokal. Di beberapa titik, ia bahkan menggelar workshop gambar kecil untuk kawan-kawan di skena bawah tanah.
Jawa: Pulang yang Tak Pernah Benar-benar Pulang
Setelah menjelajahi Kalimantan, Dian menyeberang ke Jawa. Surabaya menjadi kota pertama yang ia singgahi. Meski keras, kota ini terasa akrab—penuh dengan denyut kehidupan jalanan yang ia pahami.
Ia kembali bertemu kawan lama, menggambar tato di kamar kos, dan bernyanyi di gang-gang sempit. Kini, ia sedang berada di Tangerang. Tapi ini bukan akhir. Hanya jeda. Ia sedang menyusun ulang peta di kepalanya—peta liar tanpa garis tetap.
Menuju Timur: Negeri yang Belum Selesai
Perjalanan ini belum selesai. Ia masih akan terus bergerak ke timur—melintasi pulau demi pulau, hingga ke Merauke, tempat di mana mentari Indonesia pertama kali menyapa setiap pagi.
Bagi Dian, setiap jengkal tanah adalah ruang belajar, dan setiap orang yang ditemui adalah guru kehidupan.