Kunto Aji Soroti Biaya Royalti Musik di Struk Restoran

- TikTok.com/@nukamarikopi
Sebuah foto struk restoran dengan biaya tambahan royalti musik mendadak viral di media sosial. Publik terkejut melihat angka yang tercantum: Rp29.140. Bukan hanya warganet yang bereaksi, penyanyi Kunto Aji pun ikut angkat suara, menyebut biaya itu lebih mahal dari tarif parkir.
Kunto Aji Ikut Menanggapi
Melalui akun X pribadinya, Kunto Aji mempertanyakan keaslian angka tersebut. Ia bahkan menilai jumlahnya terlalu besar jika memang dibebankan langsung kepada konsumen.
"Yang ngedit dicari aja ini, bikin rusuh. Nggak mungkin banget sampai segini," tulisnya. Ia menambahkan, kalaupun ada beban biaya ke pelanggan, nominalnya tidak sampai melebihi parkir kendaraan.
Komentar Kunto Aji ini langsung memicu diskusi panjang. Banyak warganet penasaran, apakah biaya royalti musik memang wajar dimasukkan ke struk pembayaran atau seharusnya menjadi tanggungan pemilik usaha.
Struk Restoran yang Jadi Sorotan
Unggahan yang memicu kehebohan ini berasal dari akun X @onecak. Dalam foto tersebut, terlihat transaksi pada 5 Agustus 2025 pukul 20.44 WIB dengan total tagihan Rp742.940.
Daftar menu yang dipesan cukup beragam, mulai dari Bola Bola Susu Rp79 ribu, Bebek Manis Rp159 ribu, Rendang Sapi Rp215 ribu, Nasi Ijo Rp25 ribu, Nasi Merah Rp25 ribu, hingga Es Dawet Durian Rp65 ribu.
Setelah subtotal Rp614 ribu, ada tambahan service charge dan pajak PB1 masing-masing Rp67.540. Lalu, tercantum biaya royalti musik dan lagu sebesar Rp29.140 — sebuah item yang jarang sekali terlihat di tagihan restoran.
Apa Itu Biaya Royalti Musik?
Banyak yang belum tahu, biaya royalti musik bukanlah sekadar “tambahan” tanpa dasar. Menurut aturan, pemilik usaha seperti restoran, kafe, hotel, hingga mal yang memutar musik di area publik wajib membayar royalti kepada pencipta lagu dan pihak terkait.
Ketentuan ini tertuang dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor HKI.02/2016. Tarifnya diatur sebesar Rp60 ribu per kursi per tahun untuk hak pencipta, dan Rp60 ribu per kursi per tahun untuk hak terkait. Jadi, totalnya Rp120 ribu per kursi per tahun yang dibayarkan melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
Penjelasan dari Ahli Hukum
Guru Besar Kekayaan Intelektual Universitas Padjajaran, Ahmad M Ramli, menegaskan bahwa pembayaran royalti memberi kepastian hukum bagi pelaku usaha. Jika sudah membayar sesuai aturan, pemilik usaha bebas memutar lagu apa pun tanpa melanggar hak cipta.
"Kalau dia sudah membayar kepada Lembaga Manajemen Kolektif sesuai kriteria, maka menggunakan lagu apa pun di restorannya tidak melanggar hukum," jelas Ramli. Ia menilai aturan ini melindungi kedua belah pihak, baik pelaku usaha maupun pencipta karya.
Kenapa Bisa Muncul di Struk?
Meski kewajiban royalti menjadi tanggungan pemilik usaha, munculnya biaya ini di struk tetap menimbulkan pertanyaan. Apakah restoran sengaja membebankan langsung kepada konsumen atau hanya transparan soal komponen biaya operasional?
Beberapa warganet menilai langkah itu bentuk keterbukaan. Namun, ada juga yang menganggapnya tidak lazim karena royalti biasanya dihitung tahunan dan dibayar langsung oleh pihak restoran, bukan per transaksi pelanggan.
Respons Publik yang Terbagi
Perdebatan di media sosial pun terbagi dua kubu. Sebagian mendukung transparansi, berpendapat bahwa pelanggan berhak tahu ke mana saja uang mereka mengalir. Di sisi lain, ada yang merasa restoran seharusnya menanggung biaya ini sebagai bagian dari operasional, sama seperti listrik atau kebersihan.
Kehadiran komentar dari figur publik seperti Kunto Aji semakin memperkuat sorotan. Tidak sedikit yang kemudian menandai pihak terkait, termasuk LMKN, untuk memberi klarifikasi resmi.
Royalti Musik, Hak Cipta, dan Edukasi Publik
Kasus ini setidaknya membuka diskusi lebih luas soal hak cipta musik di ruang publik. Banyak yang belum sadar bahwa memutar lagu di kafe atau restoran bukan sekadar hiburan gratis, melainkan ada kewajiban hukum yang mengikutinya.
Edukasi publik tentang hal ini penting, agar tidak terjadi salah paham antara pemilik usaha dan konsumen. Ke depan, mungkin dibutuhkan cara penyampaian yang lebih jelas, agar biaya royalti tidak menjadi sumber kehebohan yang berulang.